ASKEP
TRAUMA CAPITIS
(TC)
OLEH:
Achmad Rizqi
Rustiansyah
11142013316
KELAS:PSIK.REG
A4/4
PROGRAM STUDI
ILMU KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI
ILMU KESEHATAN BINA HUSADA
PALEMBANG
2013
KATA
PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan
Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan ridho-Nyalah penulis dapat menyelesaikan
Makalah Asuhan
Keperawatan Cedera Kepala ini
dengan tepat waktu
dan tanpa hambatan.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kardiovaskuler
2. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pak
Romliyadi,S.Kep, Ners selaku dosen pembimbing
mata kuliah Kardivaskuler 2. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna.oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari para pembaca.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Palembang, Maret 2013
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.................................................................................... 1
1.2
Tujuan.................................................................................................. 2
BAB II ANATOMI FISIOLOGI....................................................................... 3
2.1 Anatomi dan Fisiologi......................................................................... 3
BAB III TINJAUAN
TEORI............................................................................ 9
3.1 Definisi
Cedera Kepala....................................................................... 9
3.2
Etiologi................................................................................................ 9
3.3 Patofisiologi......................................................................................... 10
3.4 Manesfestasi Klinis.............................................................................. 11
3.5 Pemeriksaan Penunjang....................................................................... 12
3.6 Komplikasi........................................................................................... 12
3.7 Penatalaksanaan................................................................................... 13
3.8 Patoflow.............................................................................................. 14
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN CEDERA KEPALA........................ 15
4.1 Pengkajian............................................................................................ 15
4.2 Diagnosa............................................................................................... 16
4.3 Intervensi dan Rasional........................................................................ 16
BAB V
PENUTUP.............................................................................................. 28
5.1
Kesimpulan........................................................................................... 28
5.2 Saran..................................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada
kepala yang terjadi baik secara langsung yang kemudian dapat berakibat kepada
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik,kognitif, psikososial, bersifat
temporer atau permanen (www.yayanakhyar.com.nr/200905).
Setiap tahun di Amerika
Serikat, mencatat 1,7 juta kasus trauma kepala 52.000 pasien meninggal dan
selebihnya dirawat inap. Trauma kepala juga merupakan penyebab kematian ketiga
dari semua jenis trauma dikaitkan dengan kematin. Menurut Penelitian yang dilakukan
oleh Natroma Trauma Project di Islamic Republik of Iran bahwa, diantara
semua jenis trauma tertinggi yang dilaporkan yaitu sebanyak 78,7 % trauma
kepala dan kematian paling banyak juga disebabkan oleh trauma kepala
(Karbakhsh, zand, Rouzrokh, Zarei, 2009). Rata – rata rawat inap pada laki –
laki dan wanita akibat terjatuh dengan diagnosa trauma kepala sebanyak 146,3
per 100.000 dan 158,3 per 100.000 (Thomas 2006). Angka kematian trauma
kepala akibat terjatuh lebih tinggi pada laki – laki dibanding perempuan
yaitu sebanyak 26,9 per 100.000 dan 1,8 per 100.000. Bagi lansia pada usia 65
tahun keatas, kematian akibat trauma kepala mencatat 16.000 kematian dari 1,8
juta lansia di Amerika yang mengalami trauma kepala akibat terjatuh. Menurut
Kraus (1993), dalam penelitiannya ditemukan bahwa anak remaja hingga dewasa
muda mengalami cedera kepala akibat terlibat dalam kecelakaan lalu lintas dan
akibat kekerasan sedangkan orang yang lebih tua cenderung mengalami trauma
kepala disebabkan oleh terjatuh.Menurut data yang diperolah dari rekam medik
RSUD Atambua, pada tiga tahun terakhir ini yaitu : tahun 2008 terdiri dari 142
orang, laki –laki : 107 orang ( 75,3 %), perempuan : 42 orang (29,5 %), Tahun
2009 : 163 orang, laki – laki : 140 orang (85,8 %), perempuan : 23 orang (13,6
%), Tahun 2010 : 175 orang, laki – laki : 149 orang (85,1 %), perempuan : 26
orang ( 14,8 %).
Indonesia sebagai negara
berkembang ikut merasakan kemajuan teknologi, diantaranya bidang transportasi.
Dengan majunya transportasi, mobilitas penduduk pun ikut meningkat. Namun
akibat kemajuan ini, juga berdampak negatif yaitu semakin tingginya angka
kecelakaan lalu lintas karena ketidak hati – hatian dalam berkendaraan.
Sehingga dapat mengakibatkan berbagai cedera. Salah satu cedera yang sering
terjadi pada saat kecelakan lalu lintas adalah cedera kepala (http://repository.usu.ac.id/
bitstream/ 12345678 /16495/5.chapter%201.pdf)
Cedera kepala menduduki
tingkat morbiditas dan mortalitas tertinggi, oleh karena itu diperlukan
pemahaman dan pengelolaan yang lebih baik terutama tentang penanganan (A, B, C,
D, E), pencegahan cedera otak sekunder dan cara merujuk penderita secepat
mungkin oleh untuk petugas kesehatan yang berada digaris depan.
1.2 Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu
mengembangkan pola pikir ilmiah dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien
cedera kepala dengan pendekatan proses keperawatan.
2. Tujuan khusus
a) Mahasiswa mampu
melaksanakan pengkajian pada pasien cedera kepala.
b) Mahasiswa mampu
merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan cedera kepala.
c) Mahasiswa mampu
membuat rencana tindakan keperawatan pada pasien dengan cedera kepala.
BAB II
ANATOMI FISIOLOGI
2.1
Anatomi
2.1.1 Kulit Kepala
Kulit
kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau
kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis
atau galea aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan
penunjang longgar dan pericranium
2.1.2 Tulang Tengkorak
Tulang
tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang
yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital . Kalvaria khususnya diregio
temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii
berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak
akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3
fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis
dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum .-
2.1.3 Meningen
Selaput
meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
1. Dura mater
Dura
mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan
lapisan meningeal . Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas
jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.
Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu
ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara dura mater dan arachnoid,
dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh
vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis
tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan
menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah
vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat
mengakibatkan perdarahan hebat
Arteri-arteri
meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium (ruang
epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada
arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering
mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa
temporalis (fosa media) .
2. Selaput
Arakhnoid
Selaput
arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang . Selaput arakhnoid
terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang
meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial,
disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium
subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan
sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala .
3. Pia mater
Pia
mater melekat erat pada permukaan korteks serebri (3). Pia mater
adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan
masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan
menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak
juga diliputi oleh pia mater
Otak merupakan suatu struktur gelatin
yang mana berat pada orang dewasa sekitar 14 kg . Otak terdiri dari beberapa
bagian yaitu; Proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon,
mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari
pons, medula oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus.
Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi
bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang.
Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital
bertanggungjawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas
berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan.
Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum
bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan .
Gambar 2. Lobus-lobus Otak
2.1.4 Cairan
serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh
plexus khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir
dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III,
akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke
dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus
sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid
sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan
intrakranial . Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar
150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari .
2.1.5
Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak
menjadi ruang supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii
media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior) .
2.1.6
Perdarahan Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna
dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan
inferior otak dan membentuk circulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai
jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup.
Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis .
2.2 Fisiologi Kepala
Tekanan
intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intrakranial, cairan
secebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang dewasa dalam
posisi terlentang sama dengan tekanan CSS yang diperoleh dari lumbal pungsi
yaitu 4 – 10 mmHg . Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan
atau memperberat iskemia. Prognosis yang buruk terjadi pada penderita dengan
TIK lebih dari 20 mmHg, terutama bila menetap .
Pada saat
cedera, segera terjadi massa seperti gumpalan darah dapat terus bertambah
sementara TIK masih dalam keadaan normal. Saat pengaliran CSS dan darah
intravaskuler mencapai titik dekompensasi maka TIK secara cepat akan meningkat.
Sebuah konsep sederhana dapat menerangkan tentang dinamika TIK. Konsep utamanya
adalah bahwa volume intrakranial harus selalu konstan, konsep ini dikenal
dengan Doktrin Monro-Kellie .
Otak
memperoleh suplai darah yang besar yaitu sekitar 800ml/min atau 16% dari
cardiac output, untuk menyuplai oksigen dan glukosa yang cukup . Aliran darah
otak (ADO) normal ke dalam otak pada orang dewasa antara 50-55 ml per 100 gram
jaringan otak per menit. Pada anak, ADO bisa lebih besar tergantung pada
usainya . ADO dapat menurun 50% dalam 6-12 jam pertama sejak cedera pada
keadaan cedera otak berat dan koma. ADO akan meningkat dalam 2-3 hari
berikutnya, tetapi pada penderita yang tetap koma ADO tetap di bawah normal
sampai beberapa hari atau minggu setelah cedera. Mempertahankan tekanan perfusi
otak/TPO (MAP-TIK) pada level 60-70 mmHg sangat rirekomendasikan untuk meningkatkan
ADO .
BAB III
TINJAUAN
TEORI
3.1 Pengertian
Cedera kepala adalah
serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi setelah trauma kepala ,yang
dapat melibatkan kulit kepala ,tulang dan jaringan otak atau kombinasinya
(Standar Pelayanan Medis ,RS Dr.Sardjito)
Cedera kepala merupakan
salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia
produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas .(Mansjoer
Arif ,dkk ,2000)
Trauma kepala adalah
suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang
terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala.
(Suriadi & Rita Yuliani, 2001)
Cedera kepala yaitu
adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang
tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi – descelarasi) yang merupakan
perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan factor
dan penurunan percepatan, serta rotasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan
juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan.
Trauma kepala termasuk
kejadian trauma pada kulit kepala, tengkorak atau otak. Batas trauma kepala
digunakan terutama untuk mengetahui trauma cranicerebral, termasuk gangguan
kesadaran. Kematian akibat trauma kepala terjadi pada tiga waktu setelah
injuri, yaitu meliputi:
1.
Segera setelah injuri
2.
Dalam waktu 2 jam setelah injuri
3.
Rata-rata 3 minggu setelah injuri
Pada
umumnya kematian terjadi segera setelah injuri dimana terjadi trauma langsung
pada kepala, atau perdarahan yang hebat dan syok. Kematian yang terjadi dalam
beberapa jam setelah trauma disebabkan oleh kondisi klien memburuk secara
progresif akibat perdarahan internal. Pencatatan segera tentang status
neurologus dan intervensi surgical merupakan tindakan kritis guna pencegahan
kematian pada fase ini. Kematian yang terjadi 3 minggu atau lebih setelah
injuri disebabkan oleh berbagai kegegelan system tubuh.
3.2 Etiologi
1.
Kecelakaan lalu lintas (kecelakaan kendaraan bermotor
atau sepeda, dan mobil)
2.
Kecelakaan kerja
3.
Trauma pada olah raga
4.
Kejatuhan benda atau jatuh dari tempat tinggi
5.
Luka tembak
6.
Cedera akibat kekerasan
3.3 Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan
oksigen dan glukosa dapat terpenuhi, energi yang dihasilkan di dalam sel – sel
syaraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan
oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai
bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg % karena akan
menimbulkan koma, kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan tubuh,
sehingga bila kadar oksigen plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala –
gejala permulaan disfungsi cerebral. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh
berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolisme anaerob yang
dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau
kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob.
Hal ini akan menyebabkan oksidasi metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan
asidosis metababolik. Dalam keadaan normal Cerebral Blood Flow (CBF) adalah 50
– 60 ml / menit 100 gr. Jaringan otak yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi
jantung sekuncup aktifitas atypical myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan
udema paru. Perubahan otonim pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T
dan P aritmia, fibrilasi atrium dan ventrikel serta takikardi.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi
tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler akan menyebabkan pembuluh
darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persyarafan simpatik dan
parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
3.4
Manifestasi
klinik
Manifestasi klinik dari cedera kepala
tergantung dari berat ringannya cedera kepala.
a.
Perubahan kesadaran adalah merupakan indicator yang
paling sensitive yang dapat dilihat dengan penggunaan GCS ( Glascow Coma Scale)
b.
Peningkatan TIK yang mempunyai trias Klasik seperti :
nyeri kepala karena regangan dura dan pembuluh darah; papil edema yang
disebabkan oleh tekanan dan pembengkakan diskus optikus; muntah seringkali
proyektil.
3.5 Pemeriksaan penunjang
a.
CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya
hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
b.
Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi
serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
- X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.
- Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
- Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial.
3.6 Komplikasi
·
Koma . Penderita tidak sadar dan tidak memberikan
respon disebut coma. Pada situasi ini, secara khas berlangsung hanya beberapa
hari atau minggu, setelah masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa
kasus lainya memasuki vegetative state atau mati penderita pada masa vegetative
statesering membuka matanya dan mengerakkannya, menjerit atau menjukan respon
reflek. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari
lingkungan sekitarnya. Penderita pada masa vegetative state lebih dari satu
tahun jarang sembuh.
·
Seizure.
Pederita yang mengalami cedera
kepala akan mengalami sekurang-kurangnya sekali seizure pada masa minggu
pertama setelah cedera. Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi
epilepsy.
·
Infeksi. Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat
merobekan membran (meningen) sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini
biasanya berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke
sistem saraf yang lain
·
Kerusakan
saraf. Cedera pada basis
tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada nervus facialis. Sehingga terjadi
paralysis dari otot-otot facialis atau kerusakan dari saraf untuk pergerakan
bola mata yang menyebabkan terjadinya penglihatan ganda .
·
Hilangnya
kemampuan kognitif. Berfikir,
akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori merupakan
kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala berat mengalami
masalah kesadaran.
·
Penyakit
Alzheimer dan Parkinson. Pada
kasus cedera kapala resiko perkembangan terjadinya penyakit alzheimer tinggi
dan sedikit terjadi parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung frekuensi
dan keparahan cedera.
3.7 Penatalaksanaan
1
Obesrvasi 24 jam
2
Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih
dahulu.
3
Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4
Anak diistirahatkan atau tirah baring.
5
Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6
Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7
Pemberian obat-obat analgetik.
8
Pembedahan bila ada indikasi.
BAB III
ASKEP CEDERA KEPALA
3.1 Pengkajian
3.1.1Riwayat kesehatan
waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat
kejadian, status kesadaran saat kejadian pertolongan yang diberikan segera
setelah kejadian.
3.1.2
Pemeriksaan Fisik
1.
Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull,
cheyene stokes, biot, hiperventilasi, ataksik)
2.
Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau
pengaruh PTIK
3.
Sistem saraf :
Fungsi saraf kranial trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
Fungsi sensori-motor à adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang.
Fungsi saraf kranial trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
Fungsi sensori-motor à adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang.
4.
Sistem pencernaan
Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan, kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan, kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
5.
Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
6.
Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik
hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
7. Kemampuan
komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan disfagia atau afasia akibat
kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
3.2
Diagnosa,Intervensi dan Rasional
Diagnosa
|
Tujuan
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.Gangguan
pola nafas b/ d obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler, kerusakan medula
oblongata.
|
Tidak
terjadi gangguan pola nafas setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x
24 jam dengan KH :
o Memperlihatkan
pola nafas normal/ efektif, bebas sianosis dengan GDA dalam batas normal
pasien.
|
o
Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernafasan.
Catat ketidakteraturan pernafasan.
o
Angkat kepala tempat tidur sesuai aturan
posisi miring sesuai indikasi.
o
Anjurkan pasien untuk latihan nafas dalam yang
efektif jika pasien sadar.
o
Auskultasi suara nafas. Perhatikan daerah
hipoventilasi dan adanya suara- suara tambahan yang tidak normal. (krekels,
ronki dan whiszing).
o
Kolaborasi untuk pemeriksaan AGD, tekanan
oksimetri.
o
Berikan oksiegen sesuai indikasi.
|
·
Perubahan dapat menunjukan komplikasi pulmonal
atau menandakan lokasi/ luasnya keterlibatan otak. Pernafasan lambat, periode
apneu dapat menendakan perlunya ventilasi mekanis.
·
Untuk memudahkan ekspansi paru dan menjegah
lidah jatuh yang menyumbat jalan nafas.
·
Mencegah/ menurunkan atelektasis.
·
Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru
seperti atelektasis, kongesti atau obstruksi jalan nafas yang membahayakan
oksigenasi serebral atau menandakan adanya infeksi paru (umumnya merupakan
komplikasi pada cidera kepala).
·
Menentukan kecukupan oksigen, keseimbangan
asam-basa dan kebutuhan akan terapi.
·
Mencegah hipoksia, jika pusat pernafasan
tertekan. Biasanya dengan mnggunakan ventilator mekanis
|
2.Gangguan
perfusi jaringan b/ d oedema cerebri, meningkatnya aliran darah ke otak.
|
Gangguan
perfusi jaringan tidak dapat diatasi setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 2x 24 jam dengan KH :
o Mampu
mempertahankan tingkat kesadaran
o Fungsi
sensori dan motorik membaik.
|
o Pantau
status neurologis secara teratur
o
Evaluasi kemampuan membuka mata (spontan, rangsang
nyeri).
o
Kaji respon motorik terhadap perintah yang
sederhana.
o
Pantau TTV dan catat hasilnya.
o
Anjurkan orang terdekat untuk berbicara dengan
klien
o
Kolaborasi pemberian cairan sesuai indikasi
melalui IV dengan alat kontrol
|
·
Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat
kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan
lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP
·
Menentukan tingkat kesadaran
·
Mengukur kesadaran secara keseluruhan dan
kemampuan untuk berespon pada rangsangan eksternal.
·
Dikatakan sadar bila pasien mampu meremas atau
melepas tangan pemeriksan
·
Peningkatan tekanan darah sistemik yang
diikuti dengan penurunan tekanan darah diastolik merupakan tanda peningkatan
TIK .
·
Peningkatan ritme dan disritmia merupakan
tanda adanya depresi atau trauma batang otak pada pasien yang tidak mempunyai
kelainan jantung sebelumnya.
·
Nafas yang tidak teratur menunjukan adanya
peningkatan TIK
·
Ungkapan keluarga yang menyenangkan klien
tampak mempunyai efek relaksasi pada beberapa klien koma yang akan menurunkan
TIK
·
Pembatasan cairan diperlukan untuk menurunkan
Oedema cerebral: meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler, tekanan darah (TD)
dan TIK
|
3.Gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit b/ d haluaran urine dan elektrolit
meningkat.
|
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam ganguan keseimbangan cairan
dan elektrolit dapat teratasi dengan KH :
o Menunjukan
membran mukosa lembab, tanda vital normal haluaran urine adekuat dan bebas
oedema.
|
o Kaji
tanda klinis dehidrasi atau kelebihan cairan.
o
Catat masukan dan haluaran, hitung
keseimbangan cairan, ukur berat jenis urine.
o
Berikan air tambahan/ bilas selang sesuai
indikasi
o
Kolaborasi pemeriksaan lab. kalium/fosfor
serum, Ht dan albumin serum.
|
·
Deteksi dini dan intervensi dapat mencegah
kekurangan / kelebihan fluktuasi keseimbangan cairan.
·
Kehilangan urinarius dapat menunjukan
terjadinya dehidrasi dan berat jenis urine adalah indikator hidrasi dan
fungsi renal.
·
Dengan formula kalori lebih tinggi, tambahan
air diperlukan untuk mencegah dehidrasi.
·
Hipokalimia/ fofatemia dapat terjadi karena
perpindahan intraselluler selama pemberian makan awal dan menurunkan fungsi
jantung bila tidak diatasi.
|
4.Gangguan
rasa nyaman nyeri b/ d peningkatan tekanan intra kranial.
|
Rasa
nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam
dengan KH :
o pasien
mengatakan nyeri berkurang.
o
Pasien menunjukan skala nyeri pada angka 3.
o
Ekspresi wajah klien rileks.
|
o
Teliti keluhan nyeri, catat intensitasnya,
lokasinya dan lamanya.
o
Catat kemungkinan patofisiologi yang khas,
misalnya adanya infeksi, trauma servikal.
o
Beri kompres dingin pd kpla
|
·
Mengidentifikasi karakteristik nyeri merupakan
faktor yang penting untuk menentukan terapi yang cocok serta.
·
mengevaluasi keefektifan dari terapi.
·
Pemahaman terhadap penyakit yang mendasarinya
membantu dalam memilih intervensi yang sesuai.
·
Meningkatkan rasa nyaman dengan menurunkan
vasodilatasi.
|
5.Perubahan
persepsi sensori b/ d penurunan kesadaran, peningkatan tekanan intra kranial.
|
Fungsi
persepsi sensori kembali normal setelah dilakukan perawatan selama 3x 24 jam
dengan KH :
o mampu
mengenali orang dan lingkungan sekitar.
o Mengakui
adanya perubahan dalam kemampuannya.
|
o Evaluasi
secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara, alam perasaan,
sensori dan proses pikir.
o
Kaji kesadaran sensori dengan sentuhan, panas/
dingin, benda tajam/ tumpul dan kesadaran terhadap gerakan.
o
Bicara dengan suara yang lembut dan pelan.
Gunakan kalimat pendek dan sederhana. Pertahankan kontak mata.
o
Berikan lingkungan tersetruktur rapi, nyaman
dan buat jadwal untuk klien jika mungkin dan tinjau kembali.
o
Gunakan penerangan siang atau malam.
o
Kolaborasi pd ahlifisioterapi, terapiokupasi, terapi wicara dan terapi
kognitif.
|
·
Fungsi cerebral bagian atas biasanya
terpengaruh lebih dahulu oleh adanya gangguan sirkulasi, oksigenasi.
Perubahan persepsi sensori motorik dan kognitif mungkin akan berkembang dan
menetap dengan perbaikan respon secara bertahap
·
Semua sistem sensori dapat terpengaruh dengan
adanya perubahan yang melibatkan peningkatan atau penurunan sensitivitas atau
kehilangan sensasi untuk menerima dan berespon sesuai dengan stimuli.
·
Pasien mungkin mengalami keterbatasan
perhatian atau pemahaman selama fase akut dan penyembuhan. Dengan tindakan
ini akan membantu pasien untuk memunculkan komunikasi.
·
Mengurangi kelelahan, kejenuhan dan memberikan
kesempatan untuk tidur REM (ketidakadaan tidur REM ini dapat meningkatkan
gangguan persepsi sensori).
·
Memberikan perasaan normal tentang perubahan
waktu dan pola tidur.
·
Pendekatan antar disiplin ilmu dapat
menciptakan rencana panatalaksanaan terintegrasi yang berfokus pada masalah
klien
|
6.Gangguan
mobilitas fisik b/d spastisitas kontraktur, kerusakan saraf motorik.
|
Pasien
dapat melakukan mobilitas fisik setelah mendapat perawatan dengan KH :
o tidak
adanya kontraktur, footdrop.
o
Ada peningkatan kekuatan dan fungsi bagian
tubuh yang sakit.
o Mampu
mendemonstrasikan aktivitas yang memungkinkan dilakukannya
|
o Periksa
kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang terjadi.
o
Pertahankan kesejajaran tubuh secara
fungsional, seperti bokong, kaki, tangan. Pantau selama penempatan alat atau
tanda penekanan dari alat tersebut.
o
Berikan/ bantu untuk latihan rentang gerak
o
Bantu pasien dalam program latihan dan penggunaan
alat mobilisasi. Tingkatkan aktivitas dan partisipasi dalam merawat diri
sendiri sesuai kemampuan.
|
·
Mengidentifikasi kerusakan secara fungsional
dan mempengaruhi pilihan intervensi yang akan dilakukan.
·
Penggunaan sepatu tenis hak tinggi dapat membantu
mencegah footdrop, penggunaan bantal, gulungan alas tidur dan bantal pasir
dapat membantu mencegah terjadinya abnormal pada bokong.
·
Mempertahankan mobilitas dan fungsi sendi/
posisi normal ekstrimitas dan menurunkan terjadinya vena statis.
·
Proses penyembuhan yang lambat seringakli
menyertai trauma kepala dan pemulihan fisik merupakan bagian yang sangat
penting. Keterlibatan pasien dalam program latihan sangat penting untuk
meningkatkan kerja sama atau keberhasilan program.
|
7.Resiko
tinggi infeksi b/ d jaringan trauma, kerusakan kulit kepala.
|
Tidak
terjadi infeksi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam
dengan KH :
o Bebas
tanda- tanda infeksi
o Mencapai
penyembuhan luka tepat waktu
|
o Berikan
perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan teknik cuci tangan yang baik.
o
Observasi daerah kulit yang mengalami
kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi, catat karakteristik drainase
dan adanya inflamasi.
o
Batasi pengunjung yang dapat menularkan
infeksi atau cegah pengunjung yang mengalami infeksi saluran nafas atas.
o
Kolaborasi pemberian atibiotik sesuai
indikasi.
|
·
Cara pertama untuk menghindari nosokomial
infeksi.
·
Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan
untuk melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi
selanjutnya.
·
Menurunkan pemajanan terhadap pembawa kuman
infeksi.
·
Terapi profilaktik dapat digunakan pada pasien
yang mengalami trauma, kebocoran LCS atau setelah dilakukan pembedahan untuk
menurunkan resiko terjadinya infeksi nosokomial.
|
8.Gangguan
kebutuhan nutrisi b/ d kelemahan otot untuk menguyah dan menelan
|
Pasien
tidak mengalami gangguan nutrisi setelah dilakukan perawatan selama 3 x 24
jam dengan KH :
o Tidak
mengalami tanda- tanda mal nutrisi dengan nilai lab. Dalam rentang normal.
o
Peningkatan berat badan sesuai tujuan.
|
o
Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah dan
menelan, batuk dan mengatasi sekresi.
o
Auskultasi bising usus, catat adanya
penurunan/ hilangnya atau suara hiperaktif.
o
Jaga keamanan saat memberikan makan pada
pasien, seperti meninggikan kepala selama makan atatu selama pemberian makan
lewat NGT.
o
Berikan makan dalam porsi kecil dan sering
dengan teratur.
o
Kaji feses, cairan lambung, muntah darah.
o
Kolaborasi dengan ahli gizi.
|
·
Faktor ini menentukan terhadap jenis makanan
sehingga pasien harus terlindung dari aspirasi.
·
Fungsi bising usus pada umumnya tetap baik
pada kasus cidera kepala. Jadi bising usus membantu dalam menentukan respon
untuk makan atau berkembangnya komplikasi seperti paralitik ileus.
·
Menurunkan regurgitasi dan terjadinya
aspirasi.
·
Meningkatkan proses pencernaan dan toleransi
pasien terhadap nutrisi yang diberikan dan dapat meningkatkan kerjasama
pasien saat makan.
·
Perdarahan subakut/ akut dapat terjadi dan
perlu intervensi dan metode alternatif pemberian makan
·
Metode yang efektif untuk memberikan kebutuhan
kalori.
|
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada
kepala yang terjadi baik secara langsung yang kemudian dapat berakibat kepada
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik,kognitif, psikososial, bersifat
temporer atau permanen (www.yayanakhyar.com.nr/200905).
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan
oksigen dan glukosa dapat terpenuhi, energi yang dihasilkan di dalam sel – sel
syaraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan
oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai
bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg % karena akan
menimbulkan koma, kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan tubuh,
sehingga bila kadar oksigen plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala –
gejala permulaan disfungsi cerebral. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh
berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolisme anaerob yang
dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau
kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob.
Hal ini akan menyebabkan oksidasi metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan
asidosis metababolik. Dalam keadaan normal Cerebral Blood Flow (CBF) adalah 50
– 60 ml / menit 100 gr. Jaringan otak yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi
jantung sekuncup aktifitas atypical myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan
udema paru. Perubahan otonim pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T
dan P aritmia, fibrilasi atrium dan ventrikel serta takikardi.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi
tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler akan menyebabkan pembuluh
darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persyarafan simpatik dan
parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
5.2
Saran
Sebaiknya
kita harus melindungi kepala dari ancaman bahaya seperti kecelakaan,karena bila
kepala kita sudah mengalami cedera maka, hal tersebut dapat mengakibatkan fatal
bahkan dapat menyebabkan kematian.
DAFTAR PUSTAKA
Sylvia A
Price, Lorraine M Wilson. 2006.Patofisiologi konsep klinis proses-proses
penyakit edisi 6 volume 2. Jakarta : Penerbit Buku kedokteran EGC.
Marilynn
E. Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan pedomanuntuk perencanaan dan pendokumentasian pasien, ed.3.EGC:Jakarta.
Smeltzer, S. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner Suddarth. Volume 3 Edisi 8. Jakarta : EGC. 2002.